Kiat Strategis Menghadapi Tsunami
Kiat Strategis Menghadapi Tsunami
Selasa, 09 November 2010 04:34 WIB
Tamu yang tak diharapkan ini kembali lagi berkunjung ke Tanah Air kita. Namun, berbeda halnya ketika ia mampir di Aceh pada pagi hari bulan Desember tahun 2004 atau saat ia berkunjung di Pangandaran pada sore hari bulan Juli 2006, kali ini ia datang pada malam hari bulan Oktober di Mentawai. Hal ini tentu saja menyulitkan kita menemukan saksi mata / rekaman video yang melaporkan kapan tepatnya tsunami itu melanda agar kita dapat menilai apakah suatu tindakan pencabutan peringatan / warning yang kontroversial itu sudah tepat atau masih keliru. Mungkin sudah tiba saatnya bangsa kita memiliki pakar forensik tsunami seperti Dr Munaim Idris untuk forensik manusia dalam hal ini ia bertugas untuk menentukan saat tsunami memulai aksinya. Namun, kapan pun dan di mana pun tamu istimewa ini berkunjung, jejaknya amatlah fantastis. Keperkasaan energi yang diserapnya dari gangguan gempa di tengah laut akan ditunjukkannya pada daerah pantai. Hal ini terekam dengan begitu banyaknya kehancuran plus sedikit keajaiban yang mengiringi kepergiannya. Ini seyogyanya menjadi tantangan bagi kita semua untuk menjinakkannya. Mampukah kita menjawab tantangan ini?

Sistem peringatan dini
Kita telah mengetahui bahwa tsunami adalah sejenis gelombang laut yang amat berbeda dengan gelombang laut lainnya yang ditimbulkan pasang-surut ataupun akibat aksi angin. Keunikan tsunami terletak pada kecepatan rambatnya yang amat besar namun beramplitudo kecil saat ia baru terbentuk akibat adanya gempa di laut dalam, namun amplitudo gelombangnya ini kemudian berubah menjadi besar sebagai kompensasi menurunnya kecepatan tsunami karena mendangkalnya laut sebelum ia mencapai pantai. Ini adalah suatu bentuk demonstrasi hukum kekekalan energi. Energi kinetik diwakili kecepatan tsunami sedang energi potensial digambarkan oleh amplitudonya. Untuk maksud peringatan dini, kita hanya akan meninjau tentang tsunami lokal yakni tsunami yang tiba di pantai pada jarak sekitar 100 km dari sumber gempa atau tsunami yang membutuhkan waktu kurang dari sejam untuk mencapai pantai (http://ioc3.unesco.org/itic/contents.php?id=19).

Tsunami yang terbentuk dekat Pulau Pagai Selatan Mentawai Oktober lalu tergolong tsunami lokal. Tsunami tersebut didahului gempa berkekuatan 7,7 pada skala Richter pukul 21.42 WIB pada kedalaman laut 20,6 km. Informasi ini terkandung dalam pesan Local Watch Bulletin nomor 1 yang dikeluarkan PTWC (Pacific Tsunami Warning Center) pada pukul 21.49 WIB. Pusat ini bernaung di bawah NOAA yakni lembaga kelautan dan atmosfer USA (http://www.weather.gov/ptwc/). Buletin ini juga telah menyebutkan tentang kemungkinan adanya tsunami lokal yang diperkirakan tiba di Siberut, Bengkulu, dan Padang masing-masing pada pukul 22.10, 22.27, dan 22.28. Buletin ini pun telah diinformasikan kepada pihak terkait dan seperti BMKG melalui (referensi: komunikasi email saya dengan seorang staf PTWC tanggal 29 Oktober 2010). Pada pukul 22.49, PTWC kembali mengeluarkan buletin nomor 2 dengan isi yang mirip dengan buletin 1. Kemudian PTWC membatalkan peringatan tsunaminya pada pukul 23.42 karena ancaman tsunami dianggap telah berlalu. Hal ini dikuatkan tambahan informasi (supplement) berupa hasil pengukuran aktivitas tsunami di Tanah Balah, Padang dan Enggano dan pada pukul 23.57. Aktivitas tersebut adalah amplitudo tsunami dan periode antar satu gelombang tsunami dengan tsunami lainnya-–rupanya ada serentetan tsunami (gelombang soliter) yang datang.

Seberapa efektifkah peringatan dini (baik gempa maupun buletin PTWC di atas)? Mari kita lihat kesaksian dua orang tentang momen tsunami tersebut. Salah seorang di antaranya bernama Supri Linda dari Sikakap yang diakses via internet (http://nasional.vivanews.com/news/read/185575-tsunami-mentawai--pemerintah-yang-abai). Beliau mengatakan bahwa tsunami tiba 10 menit setelah gempa, artinya pukul 21.52. Saksi dari Australia Rick menyaksikan tsunami datang sekitar pukul 22.00 (http://dunia.vivanews.com/news/read/185838-video--detik-detik-tsunami-di-mentawai). Ini berarti 18 menit setelah terjadi gempa. Guncangan akibat gempa sebagai peringatan dini tampaknya lebih baik sebagai peringatan dini tsunami karena minimal ada rentang waktu sekitar 10 menit untuk menghindar. Pantas saja sistem tradisional (indigineous knowledge) seperti smong di Pulau Simeulue, Aceh masih terbukti ampuh. Sistem ini ada sejak tsunami tahun 1907 (unesdoc.unesco.org/images/0018/001898/189842e.pdf). Namun yang perlu diingat adalah bahwa tidak setiap gempa akan menimbulkan tsunami. Itulah sebabnya kita masih membutuhkan produk IPTEK seperti buletin PTWC di atas walaupun kita mengetahui bahwa rentang waktu untuk mempersiapkan diri adalah begitu singkat. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sistem peringatan dini tersebut disampaikan ke warga? Kalau dalam bentuk goncangan gempa mungkin para warga bisa merasakannya dan mereka segera lari ke tempat yang sesuai (daratan yang lebih tinggi). Namun kalau peringatannya hanya via internet/email atau telepon seluler, bagaimana menyebarluaskannya kepada warga yang mungkin saja belum terjangkau fasilitas semacam itu? Penulis bersama sekelompok mahasiswa sedang merancang sistem peringatan dini tsunami berbasis telepon seluler untuk memanfaatkan warning PTWC.

Peta inundasi air laut
Bangsa ini beruntung sudah memiliki pakar tsunami di ITB (Dr Hamzah Latif, alumnus Universitas Tohoku) yang telah berhasil merekonstruksi tsunami Mentawai. Videonya masih tersimpan http://nasional.vivanews.com/news/read/185792-video-animasi-tsunami-mentawai. Simulasi tinggi (inundasi) diukur terhadap muka laut dan sejauh mana genangan air laut di daratan (run-up) selanjutnya diverifikasi kebenarannya. Hal ini dilakukan dengan melihat sisa-sisa (deposit) yang ditinggalkan tsunami. Setelah itu fokus simulasi ini ditujukan pada pengaruh tanaman dalam mengurangi energi tsunami baik di tepi pantai maupun di darat. Dokumentasi peristiwa tsunami pada berbagai media yang begitu mudah diakses melalui internet menunjukkan bahwa pepohonan masih mampu bertahan dari terjangan tsunami dibanding bangunan. Tak heran jika para peneliti Jepang dan Sri Lanka telah menguji efektivitas berbagai varietas tanaman sebagai perisai tsunami (Tanaka dkk, Jurnal Civil Engineering and Environmental Sytems, 2009). Hal ini juga mungkin bisa menjadi inspirasi para pembangun rumah untuk meniru struktur akar tanaman, misalnya bakau, agar tak lekang diterjang tsunami. Dengan adanya peta inundasi dan run-up ini, kita dapat melihat lokasi yang tepat untuk menjadi tempat penyingkiran masyarakat sementara setelah mereka menerima peringatan dini. Hal yang menjadi tantangan besar bagi penyiapan peta semacam ini adalah bagaimana menentukan: kapan, di mana, dan berapa kekuatan gempa?

Selain faktor teknis di atas, keberhasilan mengurangi dampak tsunami juga tentu tergantung pada faktor manusia. Namun, melihat contoh kesuksesan mitigasi Gunung Merapi yang berada di bawah komando Dr Surono, ada harapan bahwa kita pun juga dapat melakukannya pada kasus tsunami jika <>constraint waktu .

Tulisan Populer